Share |

Jumat, 24 Juni 2011

Galeuh Pakuan

Kocap ujaring carita, baheula di wewengkon limbangan aya hiji kaprabuan kamashur ka mana-mana kakoncara ka janapria, ngaran eta kaprabuan yaktos KERTARAHAYU. Ari anu jadi narpati eta kaprabuan harita Prabu LAYARAN WANGI, nelah ka beh dieunakeun Sunan Rumenggong.
Nyurup jeung ngaran kaprabuan kaayaannana sumur makmur, gemah ripah loh jinawi, patani marukti, padagang sarenang sepi paling towong rampog, aman tengtrem kertaraharja, tur tingtrim paripurna. Kertarahayu harita nagara nu pinuh berkah tur aya dina kasalametan
Prabu Layanan Wangi kagungan putra dua, putri nu geulis kawanti-wanti endahna kabina-bina, bulu socana carentik soca cureuleuk, damis kempot, lambey nyempring, pinareup cumengkir gading, angkeng lengkek papanting, imbitna dempok biola matak moho nu nenjo. Angkatna lir macan teunangan ngalenghoy ari amengan metikan kembang di taman. mun pareng sore ngalantung na mangsa sariak layung nganggo acuk sutra wungu ngalantung ka sisi empang, lauk nu sagede pingping ngagulung patumpang-tumpang bakating papada hayang ningal pingping nu ngalangkung.

Kian Santang

Oleh ROCHAJAT HARUN
GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan Maulud.
Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi. Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.
Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.

Tiga Penyebar Islam Tanah Pasundan; Walangsungsang Cakrabuana, Kian Santang, Sunan Gunung Djati

BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi  seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Pangeran Papak; Pesan Sang Kyai menjaga Tradisi

Raden Wangsa Muhammad hidup dipertengahan abad ke-19 M. Dikenal dengan nama Pangeran Papak atau Sunan Papak. Beberapa ratus tahun yang lalu di Kampung Cicunuk hidup seorang kiyai bernama Raden Muhammad Juari dari keluarga keturunan bangsawan Balubur Limbangan. Ia menikah dengan Nyi Raden Siti Injang dan berputera 7 orang, salah satunya (bungsu) bernama Raden Wangsa Muhammad. Putera yang inilah kelak menjadi seorang kiyai mengikuti jejak ayahnya.
Menurut versi silsilah Pangeran Papak, Pangeran Papak atau Raden Wangsa Muhammad adalah keturunan dari Prabu Laya Kusumah (putera Prabu Siliwangi/Sri Baduga Maharaja), Nalendra Pakuan Raharja, yang menikah dengan seorang puteri Prabu Layaranwangi (Sunan Rumenggong) dari Keprabuan Kerta Rahayu bernama Nyi Puteri Buniwangi. Raden Hande Limansenjaya dan Prabu Wastu Dewa. Prabu Hande mempunyai seorang putera bernama Raden Wijaya Kusumah (kemudian terkenal dengan Sunan Cipancar).
Selanjutnya Raden Wijaya Kusumah berputera 14 orang, diantaranya yang sulung bernama Raden Wangsanagara yang melanjutkan keadipatian Galih-Pakuan menggantikan ayahnya itu. Raden Wangsanagara berputera 6 orang, salah satunya Raden Aria Jiwanata yang berputera Dalem Adipati Arya Rangga Megatsari Suryakusumah. Dalem Adipati Rangga Megatsari berputera 9 orang, diantaranya Dalem Adipati Suta Jiwanagara, yang wafat di Mataram dan berputera Dalem Emas di Sukadanah, Sadang, Wanaraja. Sedangkan Dalem Emas berputera 10 orang, diantaranya Dalem Sutanagara di Cinunuk.

Sabtu, 27 November 2010

sajak pikeun limbangan

nugar karémpan
ngambah lemah nu kungsi medarkeun ringkang
sapanjang aweuhan cipancar, duh limbangan

teuteup ditalimbeng simpé
sanggeus cacap nalatahkeun jampé
nu mindingan gigir kaketir
lebah siak nu nyorang cigawiran

nurih kainggis
ngiker régang karingrang nu haben niir pikir
nyeuseup hawa talapakan galuh pakuan, duh limbangan

Rabu, 24 November 2010

ngeunaan suku sunda

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme dan Hindu.
Dalam urusan-urusan nasional, tidak banyak peran penting yang dimainkan oleh etnis Sunda. Walaupun peristiwa-peristiwa penting sering terjadi di Jawa Barat, namun sedikit sekali dari peristiwa tersebut yang diperankan oleh orang-orang Sunda. Dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya sedikit orang Sunda yang menjadi pemimpin politik, sastrawan, dan pengusaha. Prestasi yang cukup membanggakan adalah banyaknya penyanyi dan artis dari etnis Sunda, yang berkiprah di tingkat nasional
Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak jaman Kerajaan Salakanagara.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Pancasila dan Limbangan

Kalau Corporate Social Responsibility kini bagi dunia pengusaha dan pemerintah masih berstatus diperdebatkan, maka eksponen2 masyarakat pejuang 45 seperti dari Forum Komunikasi Keluarga Besar Siliwangi dipimpin oleh Bapak MayJen TNI (Purn) Drs KPH Herman Sarens Soediro, ex Tentara Pelajar Garut, justru telah berunjukkerja dalam rangka Community Social Responsibility, antara lain napak tilas substansi Pancasila di kota kecamatan Limbangan, kabupaten Garut pada tanggal 21 Juli 2007 sekaligus peringatan awal daripada perang rakyat semesta guna perlawanan terhadap upaya2 penjajahan kembali oleh Belanda dalam perioda Perang Kemerdekaan Ke-1 (60 tahun yang lalu).
Dikatakan substansi Pancasila, karena tidak pelak lagi, dari napak tilas itu ditemukan ikhwal Lima Bangunan Utama dari Raja Susuktunggal, Galuh Pakuan Sunda (1345 M) yang terdiri dari (1) Bimaresi, (2) Puntadewa, (3) Narayana, (4) Madura dan (5) Suradipati yang masing2 sesungguhnya dapat dimaknai sebagai perihal (1) Ketuhanan, (2) Persatuan, (3) Kemanusiaan, (4) Kerakyatan dan (5) Keadilan.