Share |

Sabtu, 27 November 2010

sajak pikeun limbangan

nugar karémpan
ngambah lemah nu kungsi medarkeun ringkang
sapanjang aweuhan cipancar, duh limbangan

teuteup ditalimbeng simpé
sanggeus cacap nalatahkeun jampé
nu mindingan gigir kaketir
lebah siak nu nyorang cigawiran

nurih kainggis
ngiker régang karingrang nu haben niir pikir
nyeuseup hawa talapakan galuh pakuan, duh limbangan

Rabu, 24 November 2010

ngeunaan suku sunda

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme dan Hindu.
Dalam urusan-urusan nasional, tidak banyak peran penting yang dimainkan oleh etnis Sunda. Walaupun peristiwa-peristiwa penting sering terjadi di Jawa Barat, namun sedikit sekali dari peristiwa tersebut yang diperankan oleh orang-orang Sunda. Dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya sedikit orang Sunda yang menjadi pemimpin politik, sastrawan, dan pengusaha. Prestasi yang cukup membanggakan adalah banyaknya penyanyi dan artis dari etnis Sunda, yang berkiprah di tingkat nasional
Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak jaman Kerajaan Salakanagara.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Pancasila dan Limbangan

Kalau Corporate Social Responsibility kini bagi dunia pengusaha dan pemerintah masih berstatus diperdebatkan, maka eksponen2 masyarakat pejuang 45 seperti dari Forum Komunikasi Keluarga Besar Siliwangi dipimpin oleh Bapak MayJen TNI (Purn) Drs KPH Herman Sarens Soediro, ex Tentara Pelajar Garut, justru telah berunjukkerja dalam rangka Community Social Responsibility, antara lain napak tilas substansi Pancasila di kota kecamatan Limbangan, kabupaten Garut pada tanggal 21 Juli 2007 sekaligus peringatan awal daripada perang rakyat semesta guna perlawanan terhadap upaya2 penjajahan kembali oleh Belanda dalam perioda Perang Kemerdekaan Ke-1 (60 tahun yang lalu).
Dikatakan substansi Pancasila, karena tidak pelak lagi, dari napak tilas itu ditemukan ikhwal Lima Bangunan Utama dari Raja Susuktunggal, Galuh Pakuan Sunda (1345 M) yang terdiri dari (1) Bimaresi, (2) Puntadewa, (3) Narayana, (4) Madura dan (5) Suradipati yang masing2 sesungguhnya dapat dimaknai sebagai perihal (1) Ketuhanan, (2) Persatuan, (3) Kemanusiaan, (4) Kerakyatan dan (5) Keadilan.

sekilas Limbangan

Balubur Limbangan adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Garut. Kecamatan ini dalam perjalanan sejarah Kabupaten Garut memiliki tempat yang istimewa. Pasalnya, Balubur Limbangan sekian lama dijadikan ibukota kabupaten sebelum beralih ke Garut. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Limbangan merupakan cikal bakal kabupaten Garut sekarang.

Istilah Balubur, seperti diterangkan dalam Ensiklopedi Kebudayaan Sunda, merujuk pada daerah pemukiman para penguasa kabupaten pada jaman dulu. Semacam daerah istimewa yang penghuninya terdiri dari para menak dan pejabat pemerintah lainnya. Balubur Limbangan berarti daerah istimewa tempat para penguasa Kabupaten Limbangan bertempat tinggal.

Seperti tercatat dalam sejarah, Limbangan awalnya bagian dari wilayah kerajaan Sunda. Namun versi lain mengatakan bahwa Limbangan sudah menjadi daerah otonom ketika kerajaan Sunda terbagi dua, yakni menjadi Galuh dan Sunda. Saat ini namanya masih Rumenggong (konon berasal dari kata “rumenggang” atau “renggang”, karena berada di antara Galuh dan Sunda) dan penguasanya dikenal sebagai Sunan Rumenggong. Setelah kerajaan Sunda runtuh, wilayah ini sempat berada di bawah kekuasaan daerah lain, di antaranya sempat menjadi wilayah bawahan Sumedang Larang.

Sunan Cipancar, Limbangan

Membicarakan sejarah Kab. Garut tidak akan lepas dari Kab. Limbangan yang merupakan cikal bakal pembentukannya. Peran serta kaum ulama yang menyebarkan Islam hingga mewarnai corak kehidupan masyarakat Garut pun tak kalah pentingnya. Tak heran, sebagian kalangan menilai Garut laik dijuluki sebagai Kota Ulama, karena banyaknya sumbangsih para ulama dalam membina masyarakat Garut.
Salah satu tokoh ulama sekaligus umara yang perannya tak bisa diabaikan pada masa awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa Barat, khususnya Garut, adalah Sunan Cipancar. Selain eksis dalam penyebaran Islam, ia pun merupakan tokoh yang menurunkan keluarga bupati-bupati Limbangan. Hal itu sebelum kemudian dengan alasan politis, Limbangan dipindahkan dan berubah menjadi Kab. Garut.
Karena itulah, tak salah jika masyarakat Garut menziarahi makam Sunan Cipancar di Kp. Pasir Astana, Desa Pasirwaru, Kec. Balubur Limbangan. Hal itu penting selain sekadar berdoa dan memberikan penghormatan atas jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam, juga untuk menelisik kembali alur sejarah Kab. Garut, termasuk pesan-pesan moral yang diamanatkan para leluhur masyarakat Garut sendiri, dalam menata bangunan kehidupan masyarakatnya. Sumber resmi Pemkab Garut dan Pemprov Jabar melalui website-nya menyebutkan, awalnya pemegang kekuasaan Limbangan adalah Dalem Prabu Liman Senjaya, cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu Layakusumah. Prabu Liman Senjaya diganti oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I alias Sunan Cipancar.

babad limbangan

Naskah Babad Limbangan ditulis dengan menggunakan hurup Arab Pegon dalam bahasa Sunda. Tidak diketahui siapa penulis naskah ini. Namun dari bentuknya – seperti diterangkan dalam buku Naskah Sunda Lama Kelompok Babad yang disusun Edi S. Ekadjati dkk. dan diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud pada 1985 – naskah ini berukuran 23 x 35 cm dan ditulis pada kertas putih bergaris.
Naskah yang ditulis dalam bentuk prosa ini mengisahkan tentang asal-usul penguasa Limbangan serta asal-usul nama tempat di sekitar Garut. Dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran suatu hari memerintahkan Ki Haruman untuk berburu. Namun alih-alih mendapat binatang buruan, Aki Haruman justru menemukan sinar terang menyilaukan dari atas sebuah gunung. Ternyata, setelah ditelisik, sinar kemilau itu berasal dari Nyi Putri dari Limbangan yang sedang mandi. Penemuan yang mengejutkan itu segera dilaporkan pada Prabu Siliwangi. Mendengar paras cantik putri itu, Prabu Siliwangi berniat melamar Nyi Putri Limbangan dan menamakan gunung tempat ditemukannya menjadi Gunung Haruman.

wangsit siliwangi

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang: Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Kamis, 18 November 2010

sajak pendek


sejenak tatap

bersitatap sejenak, denganmu
kudapati gumpal kenangan
merangkum jejak usia
serta tumpul luka-luka

(1010)


tentang angin

deru angin, gumamkan beratus nama
namun mengapa bayangmu yang selalu terbaca

(1010)


musim hujan

air yang runcing
lubangi ubun-ubun kita

(1010)

Minggu, 07 November 2010

menakar malam

sabda malam

kusingkap malam, dari balik gaunmu

angin mendesis, memanggil haru nama itu
yang kau semayamkan dalam tasbih
sepanjang kelam yang kususuri hingga dini

kuungkap kata, dari pecahan cerminmu

luka terbata, menoreh perih asing
yang kau taburi dengan airmata
setelah ruh tanggal dan hanya bayangan

malaikat urung beranjak, ia setia menunggu matahari
disamping genang air sisa hujan tadi

(1010)



malam dan kerinduan

menapaki udara malam
bersama bening mimpi
yang menautkan rindu

namun, urung kukenali parasmu

(1010)

pikeun lembur


limbangan, hiji peuting

bulan mapakan wuwungan
ngadangdanan peteng
nu nyangking kalangkang jempling
saluhureun tutunggul karuhun
notogkeun karémpan
nu kalan mulas harepan

aya haréwos peura, ngageberan hawa;
ku congo sapasang kujang
waruga beulah meredih getih
sangkan nyukcruk lampah tanggara
nyiar léngkob muara

béntang nangtawing sagigir pasir
ketipna ngahiap ibun
ting kolébat ngangkir kaketir
tuluy euntreup di pakarangan tajug
ngahibaran kohok rasa

aya haréwos peura, ngageberan hawa;
ku nyuprih inajén diri
kawaras atra reujeung cahara
sangkan payus rénghap buana
naha uga atawa supata

(1010)

angin janari

angin janari

mépéndé dangdaunan
nu usik digeuing angin

kapan urang geus paheut
papada suda migeugeut..

nyirep awuntah ibun
nu nyaliara ajir janari

kapan urang geus pasini
papada ngarajah diri..

(1010)




sésa enggon

sésa-sésa impian
ngabarak reujeung aksara
nu mancawura di juru enggon
nyusud rénghap anyar
tina hawa nu mingkin hapeuk
muru sora abringan reungit
saluhureun dedek kopi
nu kungsi nyeuseup jangji
antara getih sarta wanci

horéng enggon
ukur nganteurkeun ieu diri
sangkan paheut miara rasa

(0910)


isuk ieu

lebah ieu lahunan, aya haneut
nu ragrag ti langit
nuuskeun juuh tonggong
alatan dirérab teuteup anjeun
sapanjang peuting tadi

(0910)

mengenang kata


mata telaga

matamu adalah telaga
yang rimbun di sepanjang sisinya

matamu adalah telaga
tempat awan bercermin di atasnya

ku kail semesta elokmu
dengan joran waktu

matamu adalah telaga
yang bergemerlap harap

matamu adalah telaga
tempat impian lengang berenang

ku basuh sekujur tubuhku
sembari menghempas nafas

matamu adalah telaga
tenggelamkan janji mautku

(1010)



pada sebuah pesta

suara-suara berdesakan
hendak bersalaman
dengan paras ragam
yang penuh coretan

suara-suara berdesakan
menguntit langkahku
yang dibelenggu bisu

(1010)

sabab anjeun


sabab anjeun

mubus peuntaseun waktu
anjeun ngajangélék jadi halimun
nu mawur ti puhu umur
ngalimpudan gawir kaketir
tuluy nyangsaya satukangeun iga

raga amitan
seja mulas langit bihari
sangkan cangra kelir cahara
sabab anjeun ngeukeuhan rasa

(1010)


ngabaladah léngkah

mumbul wuwung langit
késang namper 'na sawangan

mebes dadampar sagara
sumsum renung nyuat balung

ngudar pamageuh dada
sangkan léngkah dibaladah
tuluy pataréma reujeung rasa

(09-1010)